Ayat-Ayat Pendidikan Bung Karno

 

Ayat-Ayat Pendidikan Bung Karno

Oleh Siti Mahmudah

Mahasiswa Bahasa Indonesia, PPG Prajabatan Gelombang 2 UNISMA

 

Pendidikan Indonesia saat ini berada di menara gading. Sempurna di atas kertas tetapi ketika anak keluar dari sekolah, mereka belum siap menghadapi dunia riil.Ketika mendapatkan masalah keluarga atau masyarakat, banyak mental anak yang belum siap. Ini terjadi karena pemisahan antara pembelajaran di sekolah dengan kehidupan.

Pendidikan formal Indonesia belum mampu menyiapkan manusia tangguh yang siap menghadapi tantanganhidup. Oleh sebab itu, paradigma pendidikan perlu diperbaharui kembali. Alih-alih mengadopsi sistem (kurikulum) gaya “barat” atau “timur tengah”, kita perlu kembali pada sistem pendidikan ala Indonesia yang berbasis kepribadian dan kebudayaanIndonesia, sekaligus mampu mengintegrasikan antarkomponen pendidikan (sekolah, keluarga, masyarakat dan lingkungan hidup).

Kurikulum (pembelajaran) berbasis kehidupan (PBK) menjadi jawaban permasalahan tersebut. Secara konseptual, PBK dirancang tahun 2000-an, namun secara gagasan sudah digaungkan oleh founding fathersejak setengah abad lalu. Tulisan ini akan merangkum gagasan pokok pendidikan Indonesia yang dirancang oleh Bung Karno, relevansidengan pembelajaran berbasis kehidupan, hingga proyeksi keberhasilan mencetak manusia Indonesia.

 

Konteks & Pandangan Bung Karno Terhadap Pendidikan

Konsep pendidikan yang digaungkan Bung Karno bersumber pada pengalaman hidupnya baik dalam lingkungan keluarga, masyarakat, maupun pendidikan formal yang ia tempuh. Di lingkungan keluarga, Bung Karno lahir dan tumbuh dalam keluarga yang menjadikan pendidikan sebagai nilai utama. Ayah dan ibunya mengenyam pendidikan dan menjadi guru di beberapa sekolah. Semangat pendidikan yang membebaskan (antikolonialisme/ penjajahan) telah tertanam sejak kecil. Ayahnya (Sosro) berperan mendidik Bung Karno kecil dengan keras dan tangguh agar tidak dibodohi oleh penjajah. Sebaliknya, ibunya (Soekeni) mendidik dengan lembut penuh kasih sayang, sering membacakan kisah kepahlawanan, serta bercerita tentang kebobrokan penjajah.

Di lingkungan pendidikan formal, Bung Karno belajar di Inlandishe School, Europesche Large School, dan Hoogere Burge Schoo l(HBS). Di sana, ia belajar di sekolah yang menerapkan kelas sosial yaitu kelas atas (orang-orang Eropa), kelas menengah/ Timur Asing (Cina, Arab, India), kelas bawah (pribumi Indonesia asli)[1].Hal tersebut memupuk jiwa egaliter (kesetaraan) Bung Karno. Saat di HBS, Bung Karno indekos di rumah H.O.S Tjokromaninoto. Di sana, ia tenggelam di dunia pemikiran melalui interaksi yang intens dengan buku, pemikiran Tjokroaminoto serta tokoh-tokoh nasional lainnya. Saat itu, Bung Karno mulai tertarik dengan politik dan nasionalisme.

Selepas lulus HBS tahun 1920, Bung Karno pindah ke Bandung dan melanjut ke Technische Hoogeschool (THS) atau sekolah teknik tinggi (sekarang menjadi ITB).[2] Ia terlibat dalam berbagai organisasi yang berfokus melatih kemampuan berpidato, kepenulisan, memecahkan masalah organisasi, politik dan pergerakan, bahkan merumuskan ideologi bangsa dengan tujuan Indonesia Merdeka. Atas gagasan-gagasan tersebut, Bung Karno harus diasingkan karena dianggap membahayakan penjajah.

Berbagai pengalaman yang ia alami sejak anak-anak hingga dewasa, berpadu menciptakan pandangan utama pendidikan khas Bung Karno sebagai berikut.

a.       Tujuan pendidikan adalah membangun manusia Indonesia yang berkepribadian secara berkebudayaan. Artinya, pendidikan memiliki empat sifat utama yaitu (1)refletif (bersumber pada budaya/ kultural masyarakat), (2)kritis (membebaskan dari perbudakan & kungkungan adat lama yang tidak relevan), (3)sintesis (mengambil kebaikan dari kebudayaan lain untuk menghasilkan kebudayaan baru/ mudah menyesuaikan diri), (4)progresif (visioner/ bergerak maju dan mengarah ke masa depan).[3]

b.      Pendidikan bersifat dwitunggal, artinya mampu mengembangkan kemampuan (keahlian) dan kepribadian secara organis, harmonis, dan dinamis.

c.       Semua orang bisa jadi guru (mengemban amanah untuk mendidik) dan pemimpin (mengemban amanah untuk menjadi teladan) sesuai dengan profesi (bidang) masing-masing. Oleh sebab itu, secara khusus, guru harus memiliki sifat utama (1)cinta kepada peserta didik, (2)memiliki kesadaran tugasnya sebagai panggilan Tuhan, dan (3)bertugas dan bertanggung jawab terhadap atas kebahagiaan peserta didik.[4]      

 Penciptaan Ekologi Pendidikan Berbasis Kehidupan Ala Bung Karno

Pendidikan khas Bung Karno dapat terwujud (hanya) jika menerapkan sistem yang terintegrasi antara pendidikan formal, keluarga, masyarakat, dan lingkungan hidup. Pembelajaran berbasis kehidupan (PBK) menjadi jawabannya.

Pada hakikatnya, PBK mencoba mendekatkan pembelajaran dengan kehidupan nyata sebab ilmu pengetahuan dan dinamika masyarakat terus berkembang. Sesuai dengan definisi tersebut, “kehidupan” berperan penting dalam proses maupun hasil. Prinsip utama PBK adalah menciptakan pendidikan yang kontekstual-integratif-holistik[5]. Kontekstual bermakna bahwa pendidikan harus berkaitan dengan suatu kejadian dalam kehidupan sehari-hari. Integratif bermakna adanya penyatuan atau penggabungan berbagai komponen pendidikan sehingga menjadi sistem yang utuh. Holistik bermakna pendidikan dilakukan secara menyeluruh dan tidak terpilah-pilah. Berikut ini gambaran (kaitan) antarkomponen pembelajaran dalam PBK.

         Berdasarkan gambar tersebut, dapat kita ketahui, PBK menciptakan ekologi pendidikan yang mengkaji pengetahuan secara “mendalam” sekaligus “meluas” melalui integrasi dan kolaborasi dari berbagai komponen. Hal ini sesuai dengan pandangan Bung Karno di atas.

Selanjutnya, strategi implementasi yang dapat dilakukan untuk mewujudkan PBK ala Bung Karno dapat dirangkum sebagai berikut.

1.      Penataan kurikulum. Kurikulum adalah acuan baku sebuah sistem pendidikan. Dalam konsep PBK ala Bung Karno, kurikulum didesain berdasarkan pengamatan terhadap dinamika masyarakat (riil) serta prediksi mendalam (analisa) tentang kebutuhan masa depan. Kemudian dituangkan dalam butir-butir kompetensi dan diejawantahkan secara spesifik pada mata pelajaran. Karena berbasis kehidupan, maka idealnya 60-70% berupa praktik dan 30-40% berupa teori. Selain itu, untuk mendorong keaktifan, dikembangkan projek kolaboratif antara guru, peserta didik dan keluarga sehingga roda pembelajaran akan terus bergerak tidak sekadar trial and error lebih-lebih instruktif. Semua komponen harus saling mendampingi, melengkapi, dan belajar satu dengan yang lain.[6]

2.      Mempersiapkan sumber daya manusia (guru). Guru menjadi ujung tombak implementasi PBK ala Bung Karno. Pada pidato terakhir sebagai presiden yaitu tanggal 17 Agustus 1966, Bung Karno menyebutkan bahwa setiap orang bisa menjadi guru. Guru harus memiliki keahlian di bidangnya, berjiwa besar (memiliki tanggung jawab terhadap bangsa), dan menjadi teladan di segala aspek kehidupan (berperilaku baik di kelas, keluarga, maupun lingkungan masyarakat). Persiapan SDM unggul dapat dilakukan dengan cara membekali guru dengan wawasan dan kemampuan untuk menerjemahkan gagasan pembelajaran berbasis kehidupan. Pertama, pemahaman pergeseran paradigma pendidikan yang pada awalnya berpusat pada penguasaan materi menjadi berpusat pada pemecahan masalah sebab masalah kehidupan sangat kompleks. Kedua, mengembangkan fasilitas fisik (gedung, laboratorium, perpustakaan dsb. yang mampu mewadahi/ sumber pemecahan masalah di masyarakat). Ketiga, menciptakan iklim kompetitif, kolaboratif, berpikir kritis dan apresiatif agar kemampuan guru selalu terasah sehingga dapat ditularkan kepada peserta didik. Apabila tahapan tersebut dapat terlaksana secara kontinu maka terciptalah SDM yang kapabel.

Kapabilitas (guru & peserta didik) perlu diasah melalui berbagai usaha dan kegiatan, serta melakukan refleksi (berbenah diri) tiada henti. Dalam PBK, guru dan peserta didik belajar dalam 3 ranah kehidupan yaitu (1)belajar dari kehidupan: menjadikan semua aspek kehidupan sebagai sumber belajar sehingga akan didapatkan pengalaman yang otentik dan kaya (tekstual maupun kontekstual). Modal utamanya adalah kemampuan berpikir tingkat tinggi (peserta didik maupun guru), (2)belajar melalui kehidupan: mempraktikkan, mengujicobakan, atau menerapkan secara langsung sehingga cenderung produktif (dalam proses maupun hasil), (3)belajar untuk kehidupan: memanfaatkan apa yang telah dipelajari secara kontinu untuk menghadapi kehidupan yang akan datang.[7]

 

Tantangan dan Kendala

Menerapkan pembelajaran berbasis kehidupan (PBK) tidak mudah. Perlu kesabaran dan ketekunan mengubah cara pandang lama menjadi cara pandang baru. Butuh kerjasama dan sosialisasi ke seluruh pemangku kepentingan. Butuh ketelitian menerjemahkan PBK dalam pembelajaran dan kehidupan sehari-hari (fleksibilitas menghadapi perubahan).

Pada akhirnya, gagasan pendidikan ala Bung Karno berupaya membuat guru, peserta didik, keluarga maupun masyarakat (secara kolaboratif) menjadi pembelajar sejati (selalu memperbarui keterampilan dan kemampuan secara terus menerus) untuk merdeka dan memerdekakan.

 



[1] Perpustakaan Nasional RI. 2009. Biografi Masa Remaja Bung Karno. Blitar: UPT Perpustakaan Proklamator Bung Karno.

[2] Perpustakaan Nasional RI. 2021. Soekarno Masa Bakti 1945 – 1966, (online) https://kepustakaan-presiden.perpusnas.go.id/biography/?box=detail&presiden_id=1&presiden=sukarno, diakses pada 19 April 2022.

[3] Triana, Bonie. 2022. Materi Workshop: Penulisan Karya Ilmiah tentang Bungkarno. UPT Perpustakaan Proklamator Bung Karno.

[4] Siswoyo, Dwi. 2013. Pandangan Bung Karno tentang Pancasila dan Pendidikan. Jurnal Cakrawala Pendidikan Th.XXXII No.1

[5] https://waskita.ub.ac.id/index.php/waskita/article/view/53#:~:text=Pembelajaran%20Berbasis%20Kehidupan%20(PBK)%20adalah,secara%20be%2D%20rimbang%20dan%20harmonis.

[6] Ajrul & Yana. 2016. Life-Based Learning, Mendekatkan Pembelajaran pada Kehidupan Nyata. Majalah Komunikasi edisi 307, 6.

[7] Ajrul & Yana. 2016. Life-Based Learning, Mendekatkan Pembelajaran pada Kehidupan Nyata. Majalah Komunikasi edisi 307, 7-8.

  

Siti Mahmudah (Mahasiswa Bahasa Indonesia, PPG Prajabatan Gelombang 2 UNISMA)
  

0 Comments