Bibit-bibit radikalisme di kalangan umat Islam sudah ada sejak zaman Nabi Muhammad SAW. Pada masa Nabi Muhammad SAW ketika selesai dari perang Hunain, ada seorang bernama Dzul Khuwaishiroh dari bani Tamim yang “memprotes” Nabi dalam pembagian rampasan perang. Pada saat itu Nabi sangat marah dan mengatakan bahwa orang ini akan mempunyai pengikut yang “berlebihan” dalam memahami agama. Dan ternyata apa yang dikatakan Nabi benar adanya. Ketika selesei perang shiffin yaitu peperangan antara Mu’awiyah dan sahabat Ali RA muncullah kelompok radikal Khawarij yang mempunyai pandangan sangat keras, menganggap bahwa sahabat nabi adalah kafir.
Hingga sampai sekarang juga masih ada kelompok-kelompok radikal di kalangan umat Islam. Kita mengenal Harakat Syabab Islami di Somalia, ada kelompok Boko Haram di Nigeria, ada Al-Qaeda di Afghanistan dan ISIS (Islamic State in Iraq and Sham) di Irak. Di Indonesia ada Mujahideen Indonesia Barat, Jamaah Tawhid Wal Jihad, Forum Aktifis Syariah Islam dan lain sebagainya.
Munculnya kelompok
tersebut sangat mengganggu dakwah Islam moderat yang mengusung Islam
Rahmatan Lil’alamin. Islam yang santun, Islam yang menghargai sesama seperti
apa yang di dakwahkan Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah.
Para simpatisan Al-Shabaab telah menyusup ke banyak departemen militer dan polisi di Somalia. Polisi sipil dan mantan polisi sering menyerang polisi karena lebih loyal kepada pimpinan fraksi agama daripada membela negara. Pada 2017, sekitar 150 petugas polisi bahkan menyerbu markasnya dan menembaki rekan-rekannya. Organisasi paramiliter bersenjata Al Shabaab, berkumpul di wilayah Wahhabi-Salafi, terdiri dari mantan tentara dan polisi. Ketika mereka menemukan ruang untuk melawan pemerintah, mereka pergi dan angkat senjata.
Untuk waktu yang lama, beberapa petugas polisi di Somalia melakukan penolakan. Menolak menyanyikan lagu kebangsaan dan upacara bendera. Ketika negaranya aman, pemerintah Somalia merespon dengan santai karena dianggap kesadaran beragama. Namun ternyata hal tersebut tidak sesederhana kelihatannya. Ketika sebuah kondisi tertentu diciptakan, pemahaman mereka tentang kediktatoran dengan cepat bergeser ke radikalisme atas nama dogma. Sejauh ini, Somalia telah terlibat dalam perang saudara, memerangi nasionalisme atas gesekan agama.
Di Suriah, situasinya berbeda. Ratusan tentara dan polisi tiba-tiba
ditahan, dilucuti dan dibom rekan-rekan mereka sendiri. Perbedaan ketahanan
denominasi agama membutakan persatuan negara dan rekan senegaranya. Saat situasi kacau diciptakan, kepercayaan menjadi senjata. Tentara
membunuh tentara itu, polisi membunuh polisi. Hari ini, karena perang
saudara, peradaban Suriah telah mundur selama beberapa dekade.
Wahabi-Salafi selalu berbicara tentang non-kekerasan. Selalu seperti itu di awal. Mereka menuntut kepatuhan kepada para pemimpin negara, dan di sisi lain mereka melarang demokrasi. Mengutuk demonstrasi, tapi di sisi lain mengutuk budaya. Pemahaman inilah yang menjadi penyebab infeksi polisi nasional saat ini. Kita bisa melihat akun media sosial mereka tersebar di luar negeri. Di bawah nama "Polisi Cinta Sunnah", mereka membentuk eksklusivitas agama di dalam kepolisian. Ironisnya, mereka memiliki hak untuk menggunakan senjata dan penegakan hukum. Memang model Wahhabi-Salafi, ia sangat ingin mendirikan markas di lembaga kepolisian di beberapa negara, seperti yang ia lakukan di Somalia, Sudan, dan Suriah.
Polri harus tegas, sebelum terlambat! Setiap Potensi Penyebaran Ideologi Radikalisme Harus Ditutup !