Khilafah Untuk Palestina; Solusi atau Bencana ?


Perang antara Hamas dan Israel terus berlanjut. Entah kapan akan berakhir. Menang atau kalah, perang selalu menyisakan penderitaan. Hingga terukir gencatan senjata yang layak diapresiasi. Namun, gencatan senjata tampaknya bukanlah akhir dari drama konflik Palestina-Israel. Di Indonesia, isu konflik Palestina-Israel masih menjadi trending topic perbincangan publik. Terutama di media sosial.

Beberapa hari terakhir, media sosial seperti Twitter, Instagram dan Facebook riuh oleh tanda pagar (tagar) yang menyuarakan pembebasan Palestina. Namun, sayangnya di tengah narasi pembebasan Palestina itu, terselip tagar-tagar yang mempromosikan khilafah. Narasi yang coba dibangun ialah bahwa khilafah merupakan solusi bagi problem Palestina saat ini. Sejumlah tagar kampanye khilafah dengan membonceng isu Palestina itu antara lain, #FreePalestineWithKhilafah, #KhilafahLIberateAlAqsa, dan #KhilafahSolusi Palestina.

Dilihat dari peta penyebaran konten digital di media sosial, tagar-tagar itu diusung oleh akun-akun yang selama ini dikenal sebagai oposiai pemerintah sekaligus corong gerakan radikal. Akun-akun tersebut secara masif dan sistematis berusaha membangun sebuah narasi bahwa konflik Palestina-Israel ialah murni konflik agama antara Islam dan Yahudi. Dan, solusi atas konflik tersebut hanyalah satu, yakni mendirikan kekhalifahan Islam.

Klaim bahwa khilafah merupakan solusi Palestina ini tentunya harus di periksa ulang. Ditinjau dari sisi sejarah peradaban manusia, nyaris tidak ada satu pun peristiwa dimana konflik antar dua negara atau bangsa bisa diselesaikan dengan menegakkan khilafah. 

Realitas saat ini, sistem khilafah merupakan akar muasal konflik. Sebab khilafah meniadakan kepentingan kelompok lain. Hanya kelompok mereka saja yang diperjuangkan, sedangkan kepentingan kelompok lain ditiadakan. 

Bahkan, fakta sejarah menunjukkan kenyataan bahwa sistem khilafah justru kerap menjadi akar bagi tumbuhnya perpecahan dan konflik sosial antarkelompok masyarakat. Sepanjang masa kekhalifahan Islam, banyak sekali terjadi pemberontakan sampai perebutan kekuasaan yang diwarnai intrik bahkan kekerasan. Intinya, khilafah bukanlah sistem pemerintahan nircela alias suci tanpa dosa sosial-politik.

Begitu pula jika ditinjau dari sisi filosofis, makna khilafah sendiri sebenarnya tidak pernah tunggal alias berkembang dari waktu ke waktu. Maka, jika wacana khilafah itu dimunculkan dalam bingkai konflik Palestina-Israel, pertanyaan yang akan muncul ialah model khilafah seperti apa yang mampu membebaskan Palestina dari agresi militer Israel? Di era modern-kontemporer seperti sekarang ini, ide tentang khilafah lebih mirip seperti idetopia, alias gagasan yang mustahil diwujudkan.

Disamping itu di Palestina juga ada kelompok Fatah, Hamas, Yahudi hingga Kristen. Palestina itu heterogen, tidak homogen. Lantas, kelompok manakah yang akan menerima khilafah ? Yang jelas hanya sebagian kecil kelompok saja menerima, tapi  mayoritas rakyat Palestina akan menolak ide khilafah. Jika terus menerus memaksakan kehendak kelompok tertentu dan kelompok lain menolak, yang terjadi yakni bukan menjadikan khilafah sebuah solusi untuk Palestina, melainkan menjadikan bencana untuk Palestina. 

Fakta sejarah Palestina, adanya perang saudara Hamas versus Fatah dari tahun 2007 hingga 2017 menyebabkan perekonomian semakin terpuruk, ratusan gedung-rumah hancur, fasilitas - fasilitas rusak hingga ribuan nyawa melayang. Salah satu alasan perang saudara ini yakni adanya kelompok tertentu yang otoriter dan menjalankan agama Islam tanpa mempertimpangkan kepentingan pihak lain. Ketidak cocokkan Hamas dan Fatah. Saling menyalahkan antar kelompok dan saling membenarkan kelompok sendiri. 

Di titik ini, bisa disimpulkan gagasan khilafah untuk pembebasan Palestina lebih merupakan bencana ketimbang solusi. Bencana diartikan sebagai sebuah kondisi yang hanya penyebabkan konflik. Konflik berkepanjangan yang tak berkesudahan.

Jika dibaca dari alur sejarah tersebut, klaim golongan radikal yang menyebut khilafah sebagai solusi pembebasan Palestina merupakan ilusi pemikiran. Maknanya, ada ketidakcocokan antara persoalan yang dihadapi rakyat Palestina dengan solusi yang ditawarkan. Rakyat Palestina selama berpuluh tahun hidup di tengah himpitan perang.  Mereka rentan menjadi korban konflik dan kekerasan yang dilakukan kedua belah pihak. Anehnya, kelompok Islam radikal justru mengajukan khilafah sebagai solusi mengatasi persoalan tersebut. Atau memang kelompok radikal mencari ladang berjihad ? Sebagaimana konflik ISIS ?

Kebanyakan yang berperang dengan senjata dan rudal adalah antara Hamas dengan Israel. Sedangkan Fatah berjuang dengan diplomasi melawan Israel. Selama puluhan tahun, Fatah merupakan fraksi politik yang memegang mayoritas suara di Palestina. Keduanya sangat dibutuhkan rakyat Palestina.


Apa yang rakyat Palestina perjuangkan saat ini ialah kebebasan dalam menentukan nasib dan masa depan sendiri tanpa ancaman intervensi dan agresi militer Israel. Mereka sudah terlalu lama hidup dalam suasana konflik dan peperangan sehingga tidak sempat membangun masa depan. Sedangkan khilafah ialah proyek politik ilusi fatamorgana karena menghendaki penyatuan seluruh negara dan bangsa dalam satu payung imperium Islam. Ini artinya, gagasan khilafah untuk pembebasan Palestina ialah satu hal yang tertolak untuk direalisasikan.

Agenda khilafah ialah kembali ke masa lalu, bukan ke masa depan. Orientasi ke masa lalu (regresif) inilah yang menjadi problem dunia Islam saat ini. Alih-alih menatap masa depan dengan mengembangkan inovasi di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, membangun kemapanan ekonomi dan mengembangkan sumber daya manusia serta memperkuat demokrasi, khilafah justru mengajak umat kembali ke romantisisme sejarah (kejayaan) Islam di masa lalu. 

Khilafah tidak mewujudkan perdamaian abadi melainkan melahirkan konflik hingga peperangan tiada akhir.